Berita & Agenda : Friday, 20 August 2010 | 2518 Views |

Ms Liao Jichun, Dosen Native Bahasa Mandarin

Energik, ramah, murah senyum dan optimistis. Begitulah kesan pertama ketika orang bertemu dengan perempuan berusia 27 tahun ini. Penyuka warna putih, kuning dan hitam ini sangat welcome selama wawancara berlangsung.

Ms Liao Jichun sudah empat tahun lebih mengabdikan diri sebagai dosen Bahasa Mandarin di Universitas Widya Kartika (Uwika) Surabaya ini. Tepatnya sejak Mei 2006, wanita kelahiran Sechuan, RRC, ini mendidik para mahasiswa dan turut mengembangkan program studi Bahasa Mandarin di Uwika. Berkat perannya jugalah Uwika kini dikenal sebagai salah satu universitas di Indonesia yang mempunyai program studi Bahasa Mandarin dengan kualitas sangat baik.

Lulusan Chongqing Normal University, RRC, ini mengaku sangat senang menjadi pendidik. Dengan Bahasa Indonesia yang masih terbata-bata, penyuka soto, rawon, sop buntut ini juga sangat mengapresiasi para mahasiswanya yang mempunyai semangat tinggi untuk belajar Bahasa Mandarin.

“Meskipun Bahasa Mandarin mereka belum bagus, tetapi mereka bersemangat untuk maju. Itu membuat saya senang sekali. Jika ada PR, mereka juga rajin mengerjakannya,” ucapnya dengan tersenyum.

Selain itu, kata penggemar buah anggur, durian, sawo dan duku ini suasana belajar-mengajar di Uwika terasa sangat menyenangkan. “Mahasiswa di sini lucu-lucu. Mereka juga kompak, saling membantu,” tutur wanita yang mengaku tidak suka buah-buahan yang kecut-kecut ini.

Ditanya bagaimana riwayatnya sehingga bisa mengajar di Uwika, perempuan yang suka membaca buku-buku filsafat ini menceritakannya lumayan detil. Semuanya dimulai dengan kunjungan rektor Uwika waktu itu, Bpk. Dipl. Ing. Willianto Ismadi dan Mr Fu ke Chongqing Normal University.

“Pak Willy waktu itu mengatakan Universitas Widya Kartika membutuhkan dosen native Bahasa Mandarin. Kami ada banyak orang yang diinterview. Akhirnya saya yang bisa datang ke Indonesia,” ujarnya.

Didampingi seorang mahasiswinya yang membantu menerjahkan beberapa kata Indonesia yang tampak sulit keluar dari mulutnya, perempuan yang mempanyai nama Indoensia, Ms Penny, ini juga menjelaskan mengapa Pak Willy mencari dosen native. Wanita periang ini mengatakan bahwa waktu itu Uwika sudah setengah tahun lamanya kosong dosen native Bahasa Mandarin.

“Sebelum terjadi kekosongan sebenarnya sudah ada dosen native,” kata anak tunggal yang mengaku sangat gemar nasi padang dan lauk empal ini. “Nasi pecel? Yah, sedikit-sedikit,” tambahnya sambil tertawa, saat ditanya apakah suka menyantap makanan khas di Jawa Timur itu.

Keliling Indonesia

Di sela-sela kesibukannya sebagai dosen, Ms Penny memanfaatkan waktunya untuk sosialisasi dengan sebanyak mungkin orang. Kemampuan berbahasa Indonesia yang sekarang dimilikinya juga karena pergaulan. “Saya tidak les Bahasa Indonesia, tapi belajar sendiri, mendengar orang-orang berbicara, lalu nekat ikut berbicara saja,” ujarnya diiringi tawa riang.

Jika di hari libur, perempuan yang suka olah raga yoga dan renang ini seringkali digunakan untuk mengadakan perjalanan ke berbagai kota di Indonesia. Di Pulau Jawa, katanya, tinggal kota Semarang saja yang belum dikunjunginya. “Tapi bulan depan saya akhirnya bisa ke Semarang karena ada teman yang datang dari RRC,” jelasnya.

Bukan hanya kota-kota di Pulau Jawa. Sejumlah kota di luar Pulau Jawa juga sudah didatanginya. “Saya sudak ke Sulawesi, Kalimantan, Pulau Sempu, Bali, Lombok. Ingin bisa keliling Indonesia,” ujarnya dengan nada bangga.

Ms Penny mengaku sudah tiga kali pulang ke RRC sejak menjadi pengajar di Uwika. Lamanya tinggal di RRC tergantung kecepatan pengurusan visa. Bisa satu bulan, bisa dua bulan.

Saat ditanya apa tidak sering memendam rindu dengan orangtua dan keluarga, Ms Penny mengaku orang China (di RRC, maksudnya), sudah terbiasa berpisah dengan orangtua. “Kalau di China, sejak SMP kita sudah terbiasa melakukan semuanya sendiri, pergi-pergi sendiri. Kami sudah biasa terpisah. Kita umumnya kumpul dengan orangtua pada hari Sabtu dan Minggu,” ujarnya.

Dengan terus-terang Ms Penny juga membandingkan dengan kebiasaan di Indonesia. “Di China, tidak ada anak SMP atau SMA diantar-jemput orang tua, sekalipun dia anak tunggal. Mereka di asrama dan baru Sabtu-Minggu pulang. Di sini (Indonesia) ada banyak anak yang sudah kuliah masih diantar-jemput orangtua,” tuturnya disertai tertawa lepas.

Ms Penny makin terbahak ketika mendengar pernyataan, ‘bukan hanya yang sudah kuliah, di Indonesia orang yang sudah bekerja pun masih banyak yang diantar-jemput.’

Kebiasaan atau budaya sejak dini terpisah dari orangtua ini di RRC sudah berlangsung lama. “Jadi punya anak satu atau tiga, nanti kalau mereka besar juga akan terpisah. Di China memang anak-anak berpisah dari orangtuanya,” tambahnya.

Dia juga memberi penjelasan bahwa keluarga-keluarga di China rata-rata satu keluarga hanya mempunyai satu anak. Ini sesuai dengan kebijakan pemerintah China, ‘one child-family’. “Tetapi kalau pasangan suami-istri sama-sama anak tunggal, mereka boleh mempunyai anak lebih dari satu. Di China satu anak cukup,” katanya.

Ms Penny kembali tertawa saat diberitahu di Indonesia bisa mempunyai banyak anak, meskipun tidak semua orangtua bisa membiayai sekolah dan membesarkan anak-anak mereka. “Iya, ya. Kok bisa ya?” ujarnya dengan heran.

Percakapan diam sejenak, sebelum wajah Ms Penny berubah menjadi merah saat ditanya apakah sudah mempunyai pacar. “Pacar? Ha, ha, ha… Masih menunggu, dan menunggu,” katanya cepat.

Dan tak lama kemudian raut mukanya tampak tersipu malu ketika ditanya apakah tidak ingin mendapat cowok Indonesia. “Oh! Tidak tahu ya. Tapi nanti apa tidak repot, soalnya ada banyak perbedaan adat kebiasaan dan budaya,” ujarnya, sambil dengan yakin ingin mendapat pasangan dari RRC saja.