Berita & Agenda : Friday, 30 October 2015 | 2090 Views |

Menjadi Sarjana Itu Tidak Mudah

pZHUks7H6A

”KAWANKU punya teman, temannya punya kawan. Mahasiswa terakhir fakultas dodol. Lagaknya bak profesor pemikir jempolan. Selintas seperti sibuk mencari bahan skripsi. Kacamata tebal maklum kutu buku. Ngoceh paling jago banyak baca Kho Ping Hoo. Bercerita temanku tentang kawan temannya Nyatanya skripsi beli oh di sana. Buat apa susah bikin skripsi sendiri. Sebab ijazah bagai lampu kristal yang mewah. Ada di ruang tamu hiasan lambang gengsi. Tinggal membeli tenang sajalah. Saat wisuda datang dia tersenyum tenang. Tak nampak dosa di pundaknya. Sarjana begini banyakkah di negeri ini. Tiada bedanya dengan roti. Menangis orang tua lihat anaknya bangga lahirlah sudah si jantung bangsa. Aku hanya terdiam sambil kencing diam-diam dengar kisah temanku punya kawan”.

Syair lagu Iwan Fals berjudul ”Teman Kawanku Punya Teman” itu kuat menggambarkan mudahnya menjadi sarjana. Skripsi yang menjadi salah satu syarat kelulusan bisa dibeli. Namun, sekarang tidak semudah dulu. Kebijakan sebagai bentuk ketegasan pada dunia pendidikan tinggi diberlakukan. Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Permendikbud) No 49 Tahun 2014 membuat para mahasiswa baru ketarketir, terutama angkatan 2015 ini.

Dalam Pasal 17 peraturan itu disebutkan bahwa masa studi terpakai bagi mahasiswa untuk program sarjana (S-1) dan diploma 4 (D-4) maksimal empat tahun. Lebih dari itu, kampus dituntut tegas menjatuhkan sanksi tegas, drop out (DO). Belum lagi kebijakan baru lain seiring pelimpahan kewenangan atas perguruan tinggi dari Kemdikbud ke Kementerian Riset Teknologi dan Pendidikan Tinggi (Kemenristek Dikti).

Mahasiswa tidak lagi hanya dibebani tugas akhir untuk mendapatkan ijazah serta transkrip nilai. Ada keharusan mengikuti ujian kompetensi sesuai program pendidikan (prodi) yang diambil. Belum lagi surat keterangan pendamping ijazah (SKPI) yang menjadi syarat lain kelulusan. Lalu ada juga pemberlakuan Kurikulum Kerangka Kualifikasi Nasional Indonesia (KKNI), sebagai pengganti Kurikulum 2007 di sejumlah prodi. Singkatnya, menjadi sarjana tidak lagi sesederhana bayangan mahasiswa.

Direktur Yayasan Lembaga Peduli Pendidikan Indonesia (YLPPI), Murpin Josua Sembiring, mengatakan, selama ini ada banyak kampus tidak menjamin kualitas kelulusan yang berujung keluhan dunia kerja. ”Ijazah dan transkrip nilai sebenarnya tidak berbunyi apa-apa. Sebab, keberadaannya tidak menjamin kemampuan kerja, etika kerja, etos kerja, dan lainnya dari lulusan perguruan tinggi,” kata Murpin, kemarin.

Untuk SKPI, Murpin melihat merupakan diploma suplemen. SKPI bisa menjadi tambahan informasi bagi dunia luar kampus, terutama pasar kerja. ”Dengan SKPI, kampus secara tidak langsung menunjukkan ini lho kualitas, kompetensi mahasiswa yang Anda butuhkan (dunia kerja),” ujar rektor Universitas Widya Kartika (Uwika) Surabaya ini.

SKPI merupakan surat pernyataan resmi dari perguruan tinggi (PT) terkait pencapaian akademik/kualifikasi lulusan bergelar. Surat ini menyatakan capaian pembelajaran lulusan pada jenjang KKNI yang relevan, dalam suatu format standar yang mudah dipahami masyarakat umum.

SKPI bukan pengganti ijazah dan bukan transkrip akademik, bukan pula pemegangnya mendapatkan pengakuan. Manfaat SKPI bagi lulusan merupakan dokumen tambahan sebagai kemampuan kerja, penguasaan pengetahuan, dan sikap/moral seorang lulusan yang lebih mudah dimengerti pengguna di dalam maupun luar negeri dibandingkan dengan membaca transkrip.

Selain itu, merupakan penjelasan yang obyektif dari prestasi dan kompetensi pemegangnya. Meningkatkan kelayakan kerja (employability ) terlepas dari kekakuan jenis dan jenjang program studi. ”Kualifikasi lulusan diuraikan secara naratif. Ada 20 komponen yang harus disampaikan dalam SKPI,” sebut Murpin.

Jika semua masuk SKPI, kata Murpin, selain menjadi bahan pertimbangan, juga bisa meyakinkan dunia kerja. Bagi sarjana, SKPI bisa menjadi sarana menaikkan posisi tawar dalam mencari pekerjaan. ”Ini yang dirancang sejak 2013. Kalau dipatuhi dan dijalani, lulusan tidak bingung dengan Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA),” ucapnya.

 

Soeprayitno

 

Berita Ini dimuat di :

KORAN SINDO, Edisi Senin, 19 Oktober 2015, Hal. 9-10.

http://www.koran-sindo.com/news.php?r=5&n=59&date=2015-10-19